Jakarta sebagai Ibukota negara tentunya menjadi garda
terdepan yang seharusnya mampu merefleksikan citra Indonesia dimata dunia. Jika
seseorang berkata “jangan menilai sebuah buku dari tampilan luarnya”, maka hal
itu tidak sepenuhnya benar. Saya lebih suka menggunakan analogi bagaimana orang
asing akan tertarik pada Indonesia, jika mereka ketikan kata “Indonesia” di
mesin pencarian internet lalu pada kolom teratas mucul “Jakarta” sebagai pusatnya.
Melihat kesemrawutan lewat foto saja sudah membuat mereka begidik, apalagi jika
benar-benar merasakanya langsung. Itulah stigma yang ditimbulkan jika melihat
kondisinya saat ini, Jakarta yang seharusnya menjadi tanda pengenal ibarat buah
simalakama, sudah terlanjur jadi ibukota, kalau diganti birokrasinya “ribet”,
jika dibiarkan pun sudah kadung jelek. Oleh karenanya perlu dilakukan
pembenahan terutama pada sektor-sektor vital seperti sarana dan prasarana
transportasi serta tata kota.
Berbicara tentang tata kota atau urban city plan, tentunya kita teringat betul bahwa pada pada zaman
kolonial Belanda, Jakarta atau dikenal dengan Batavia merupakan kota terbesar
dan tersibuk di Asia Tenggara. Kota tersebut telah didesain sedemikian rupa
oleh “wong londo” agar dapat memainkan
peran penting yang tidak hanya sebagai pusat dari Nertherlands Indie, namun juga sebagai kota pelabuhan menganut
konsep waterfront city. Kota didesain
bukan membelakangi sumber air seperti sungai, rawa, atau laut namun malah
menjadikannya sebagai suguhan utama yang mampu mempercantik tampilan.
Bangunan-bangunan seperti gedung pemerintahan, stasiun, sistem kereta tram ditata menjadi satu kesatuan
teratur yang pada akhirnya menjadi ciri khas dari Batavia sebagai salah satu
kota termodern di Asia kala itu. Namun, setelah kemerdekaan Indonesia hingga
sejalan dengan semakin bertambahnya usia, pembangunan kota yang masif tanpa
melihat fungsi dan kebutuhan, ditambah dengan arus urbanisasi yang deras
membuat Jakarta kehilangan identitasnya. Ia bagaikan kota beton, dihuni oleh
gedung-gedung tinggi, disisipi perumahan mewah dan pemukiman kumuh yang kontras
dan hanya menyisikan secuil lahan hijau seadanya.
Berdasarkan hal tersebut diatas, perkenalkanlah, saya Ari
Budiyanto, seorang fresh graduate lulusan Institut Pertanian Bogor jurusan
Arsitektur Lanskap, sangat tertarik untuk mengikuti program magang di Kantor
Gubernur DKI Jakarta. Motivasi saya untuk mengikuti program magang ini sangat
jelas karena ingin melihat bagaimana pemerintah DKI Jakarta dalam melakukan
pembenahan tata ruang kota terutama dalam memenuhi standar ruang terbuka hijau
kota yang minimal 30% dari total luasan dan tentunya dapat turut bertukar
pikiran dalam ruang lingkup tata kota. Saya ingin mengetahui juga bagaimana
suatu kebijakan dirumuskan, misalnya pada pembenahan bantaran sungai yang padat
rumah penduduk, untuk mengembalikan fungsi aslinya sebagai daerah resapan yang
menjadi area hijau sekaligus habitat dan koridor satwa. Pendekatan-pendekatan
seperti apa yang diambil oleh pemerintah DKI Jakarta pada masyarakat agar
program tersebut tersosialisasikan dengan baik sehingga kesepahaman diantara
kedua belah pihak dapat tercapai, bagaimana jika hal itu dikaitkan dengan
nilai-nilai kemanusiaan, sosial dan ekonomi masyarakat ?. Selain itu saya ingin
mengetahui secara langsung usaha pemulihan citra ibukota yang dilakukan
pemerintah DKI melalui perbaikan sarana dan prasana transportasi seperti
pengadaan bus kota yang sedang gencar-gencarnya dilakukan untuk mengurai
kemacetan, serta pengenalan Ibukota jakarta melalui promosi pariwisata. Bagi
saya pribadi, kesempatan magang ini akan menjadi kesempatan berharga untuk
meningkatkan kapasitas diri dan menyebarkan ilmunya agar bermafaat di
masyarakat. Terimakasih.
Hormat saya
PS : FAILED !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar