Jakarta peringkat 5 jumlah gelandangan terbanyak di dunia
Masalah gelandangan (tuna wisma) sudah lama menjadi perhatian pemerintah kota-kota besar tak terkecuali Jakarta. Statusnya sebagai Ibukota negara tak bisa dipungkiri telah menarik banyak orang dari daerah untuk datang dan mengadu peruntungan nasib disana. Ironisnya, tak semua dari mereka dibekali kemampuan atau skill yang memadai sehingga bukannya pekerjaan yang didapat, sebagian dari mereka malah justru kehabisan uang, tidak bisa menyewa tempat tinggal, lalu menjadi gelandangan dan lontang-lantung di jalan. Hal ini tentu semakin menambah daftar permasalahan sosial selain kemiskinan, pengangguran, dan sebagainya yang harus segera dicari jalan keluarnya oleh pemerintah setempat. Tercatat, Kota Jakarta berada di urutan ke 5 dibawah Sao Paulo, Budapest, Buenos Aires, dan Mumbai, sebagai salah satu kota dengan angka gelandangan paling banyak di dunia.

Sejauh ini, pemerintah DKI Jakarta telah melakukan berbagai macam cara untuk menanggulangi masalah ini. Misalnya dengan mengeluarkan peraturan daerah (Perda) DKI No. 11 Tahun 1988 tentang ketertiban umum, dan juga Perda DKI No. 8 Tahun 2007 tentang larangan orang untuk menggelandang, mengemis, dan melakukan aktivitas yang menggagu ketertiban di jalan, serta larangan bagi warga untuk membeli barang dari pedagang asongan dan memberi uang pada pengemis. Selain itu, pemerintah melalui dinas sosial juga rutin merazia gelandangan lalu memasukannya kedalam panti sosial untuk direhabilitasi. Selain diberikan pemahaman, mereka juga akan dibekali dengan ketrampilan agar nanti setelah keluar dari panti, ada yang bisa mereka kerjakan dan tidak menjadi gelandangan lagi. Pemerintah juga kerap memulangkan mereka ke daerah asal sebagai salah satu cara untuk mengurangi jumlah gelandangan di Ibukota. Namun sayangnya, upaya keras yang dilakukan sejauh ini seakan sia-sia karena tak sesuai dengan ekspektasi yang dikira. Faktanya, Jakarta akan selalu menyisakan “ruang” bagi para gelandangan. Selama masih ada peluang dan harapan, mereka tak segan untuk kembali walau telah berulangkali diusir pergi. Para gelandangan akan mencari cara agar mereka bisa tetap hidup didalamnya.

Ubah cara pandang tentang penanggulangan gelandangan
Berlatar belakang dari hal itu, penulis menyadari bahwa sebenarnya ada cara atau alternatif lain yang cukup sederhana, yang dapat dilakukan dan menjadi masukan bagi pemerintah untuk mengatasi masalah gelandangan ini. Berpedoman pada pasal 34 ayat 1, menyebutkan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Dari situ timbul pemikiran, bagaimana jika upaya penanggulangan gelandangan yang selama ini terkesan ingin “menyingkirkan” keberadaan mereka, kini lebih diarahkan pada penyediaan ruang, setidaknya tempat yang dapat mereka gunakan untuk istirahat dimalam hari. Dengan begitu, tak ada lagi gelandangan yang tidur di pinggir jalan atau emperan-emperan toko dan mengganggu kenyamanan publik.


SEPERTI APA BENTUKNYA?

Potensi vs Inovasi
Simple House For Homeless, Ide ini didasari pada cukup tersedianya ruang terbuka hijau berupa taman-taman kota yang banyak tersebar di sudut-sudut Jakarta. Umumnya, taman kota ini memainkan perannya sebagai ruang publik secara maksimal pada pagi hingga sore hari, saat dimana masyarakat secara aktif menggunakan taman sebagai tempat berinteraksi sosial. Menjelang malam, praktis taman berubah menjadi sebuah lahan sepi dan tak bertuan. Celah inilah yang dapat dimanfaatkan untuk menerapkan "simple house for homeless" dimana keberadaan taman kota dapat dimanfaatkan sebagai rumah tinggal sementara pada malam hari bagi para gelandangan. Lebih lanjut, pemerintah tidak harus muluk-muluk mengeluarkan banyak biaya guna mendirikan petak rumah kecil diarea taman, karena selain lahan yang tidak memungkinkan, juga akan mengurangi estetika taman kota.


Solusinya adalah dengan memodifikasi infrstruktur didalam taman kota itu sendiri. Misalnya melalui desain elemen hardscape seperti bangku atau meja taman yang dirancang sedemikian rupa dengan memperhatikan jenis material dan ukurannya sehingga dapat memberikan ruang yang cukup nyaman untuk dapat dipakai oleh para gelandangan untuk tidur, namun dengan tidak melupakan fungsi utamannya sebagai elemen pendukung taman. Selain itu, permainan kontur dalam taman, mislnya dengan menambahkan steps atau konsep undakan berupa amphiteater juga dapat diterapkan agar bisa memunculkan ruang-ruang baru bagi terciptanya “simple house for homeless”.


Contoh desain sederhana "simple house for homeless" dengan modifikasi elemen bangku taman


TANTANGAN?

Contoh suasana taman siang hari
Setiap pilihan tentu membawa tantangan tersendiri, seperti pada “simple house for homeless”, yang mungkin akan menimbulkan stigma negatif dikalangan masyarakat terkait keamanan dan kemungkinan tindak kriminal malam hari disekitar area taman. Untuk itulah, taman perlu di desain dengan konsep terbuka sehingga seseorang dari ujung taman bisa leluasa meilihat keujung lainnya. Hal ini dapat dilakukan dengan meminimalkan penggunaan pohon bertajuk rendah dan rindang atau pemakaian semak yang dapat menghalangi pandangan. Selain itu, tata pencahayaan juga harus diletakan pada titik-titik yang tepat sehingga tidak ada bagian yang gelap didalam taman. Tiang-tiang lampu yang dipasang harus cukup tinggi sehingga tidak mudah dirusak atau dijangkau oleh manusia. Sedangkan sumber energi pencahayaan di dapat dengan memanfaatkan solar sel sehingga lebih hemat dan ramah lingkungan.




Contoh suasana malam hari, kombinasi pemilihan pohon dan penempatan lampu yang tepat membuat taman tetap terang

APAKAH SEPERTI ITU SAJA SUDAH CUKUP?

Tentu saja tidak, inovasi melalui modifikasi pemanfaatan infrastruktur taman kota seperti ini hanya salah satu bagian kecil dari upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah gelandangan, terutama kebutuhan mereka akan tempat tinggal di malam hari. Masih ada hal lain yang harus dipikirkan seperti bagaimana cara mengatur mekanisme penggunaanya. Apakah setiap gelandangan akan didata untuk kemudian diberi akses kunci guna dapat membuka pintu geser “simple house for homeless”, kemudian kapan waktunya mereka harus pergi dan kembali? ini perlu direncanakan dengan matang. Tetapi yang lebih penting dari itu semua adalah bagaimana cara meningkatkan kesejahteraan para gelandangan yang menggunakan fasilitas ini, tentu membutuhkan kerjasama dari berbagai kalangan untuk melahirkan inovasi-inovasi dibidang lain yang berkaitan.


Keterangan

Referensi gambar
Beberapa ilustrasi diambil dari sumber (urut dari atas ke bawah) : 1 2 3 4 5 6 7 8 , sedangkan sisanya adalah hasil desain sendiri menggunakan sketchup & render lumion sederhana.

Referensi penulisan
Jakarta masuk 5 besar dunia dengan gelandangan terbanyak : 

Upaya pemerintah atasi gelandangan : 

Tulisan ini diikutkan pada kompetisi blogging balitbang PUPR, info lengkap klik banner dibawah ini.

2 komentar: