Efek negatif film
Sekali dua kali, kita pernah mendapati headline harian nasional yang sekilas dari judulnya saja sudah dapat membuat para pembacanya geleng-geleng kepala. Kasus yang temuat secara gamblang menyinggung efek negatif film yang mengilhami berbagai tindakan tidak terpuji oleh para pelaku. Ironisnya mereka bukan hanya anak-anak dan remaja, tetapi juga orang dewasa yang seharusnya sudah lebih matang secara pemikiran. Berita-berita ini pada akhirnya membuka awas pandangan kita bahwa ada semacam mata rantai yang membentuk hubungan keterikatan antara perilaku seseorang dengan apa yang ditontonnya. Secara tidak langsung, hal ini juga mensiratkan apabila konten yang mereka konsumsi sebenarnya kurang sesuai peruntukannya. Lebih jauh, angan kita pun diajak berkelana mencari-cari kemungkinan jawaban atas sebuncah tanya “Apakah pemerintah, melalui Lembaga Sensor Film (LSF) sudah memberikan “rambu-rambu” agar masyarakat tahu, mana tontonan yang boleh dilihat dan mana yang tidak?”

Siapa LSF itu ?
Penulis sendiri sebagai seorang penikmat film cukup paham siapa LSF itu. Bagi banyak orang, tak jarang LSF didiskreditkan sebagai “pengganggu” lantaran ulahnya yang sering memotong banyak adegan dalam film. Tetapi, apakah LSF punya maksud dan tujuan lain atas tindakannya itu? Sebenarnya siapa LSF, apa fungsi dan tugasnya? Nah, dari pada bertanya-tanya, ada baiknya kita melongok sekilas sejarah berdirinya LSF. Secara singkat, Lembaga Sensor Film bermula dari zaman Hindia Belanda sebagai sebuah ordonasi yang dibentuk pada tahun 1916 yang isinya mengatur tentang film dan cara penyelenggaraan usaha bioskop. Kemudian, di tahun 1965 berdiri Badan Sensor Film (BSF) melalui SK Menteri Penerangan No.46/SK/M/65 terkait penyelenggaraan penyensoran film di Indonesia. Adapun fungsi LSF sebagaimana dikutip dari PP No 7 Tahun 1994 Pasal 4 adalah untuk untuk:
  1. melindungi masyarakat dari kemungkinan dampak negatif yang timbul dalam peredaran, pertunjukan dan/atau penayangan film dan reklame film yang tidak sesuai dengan dasar, arah dan tujuan perfilman Indonesia;
  2. memelihara tata nilai dan tata budaya bangsa dalam bidang perfilman di Indonesia;
  3. memantau apresiasi masyarakat terhadap film dan reklame film yang diedarkan, dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dan menganalisis hasil pemantauan tersebut untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan tugas penyensoran berikutnya dan/atau disampaikan kepada Menteri sebagai bahan pengambilan kebijaksanaan ke arah pengembangan perfilman di Indonesia.

Sedangkan tugas LSF sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 yaitu:
  1. melakukan penyensoran terhadap film dan reklame film yang akan diedarkan, diekspor, dipertunjukkan dan/atau ditayangkan kepada umum;
  2. meneliti tema, gambar, adegan, suara dan teks terjemahan dari suatu film dan reklame film yang akan diedarkan, diekspor, dipertunjukkan dan/atau ditayangkan;
  3. menilai layak tidaknya tema, gambar, adegan, suara dan teks terjemahan dari suatu film dan reklame film yang akan diedarkan, diekspor, dipertunjukkan dan/atau ditayangkan.
Sekarang, kita tahu bahwa bahwa apa yang sebenarnya dilakukan LSF memiliki tujuan yang sangat baik. Sehingga melalui penyensoran, masyarakat dapat terlindungi dari kemungkinan adanya dampak negatif dari sebuah film.

3 kemungkinan film, bebas sensor, lulus sensor, atau dilarang tayang
Selama ini, LSF telah berusaha menjalankan beban tugas yang diembannya dengan sebaik mungkin. Film-film yang sedianya akan tayang dibioskop baik lokal maupun impor, sudah pasti harus melewati meja bedah LSF. Beberapa kriteria digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan penyensoran meliputi aspek keagamaan, ideologi dan politik, sosial budaya dan ketertiban umum. Sehingga suatu film memiliki beberapa ending apakah akan bebas sensor, lolos sensor, atau bahkan dilarang tayang sama sekali seperti film Noah yang mengangkat kisah bahtera Nabi Nuh karena berpotensi menimbulkan perdebatan dikalangan masyarakat Indonesia. Bagi film-film bebas sensor, konten yang dimiliki umumnya sudah sesuai dengan kriteria LSF sehingga aman untuk ditonton. Sedangkan film-film lolos sensor, biasanya ada beberapa bagian seperti dialog atau adegan antar pemain yang dihilangkan lantaran bertentangan dengan salah satu atau keseluruhan aspek tadi. Sebagai contoh, sebuah film akan disensor jika didalamnya mempertontonkan adegan ciuman, persetubuhan, atau bahkan sengaja menampilkan unsur homoseksualitas yang tentu tidak mencerminkan sama sekali kultur budaya ketimuran ala bangsa Indonesia.

Kemajuan teknologi dan era internet membuat informasi bebas beredar
Tetapi mengapa jika LSF telah berupaya melakukan tugas dengan sebaik-baiknya, berita-berita berkonotasi negatif terkait dampak film masih saja bersliweran menghiasi halaman depan berbagai media. Salah satu jawabanya ada pada kemajuan teknologi dan era internet. Melalui forum komunitas online, orang-orang dari semua kalangan dapat dengan mudah memperoleh informasi seputar film terbaru bahkan untuk film-film yang tidak tayang di Indonesia sekalipun. Tak jarang, para pembuat thread akan menambahkan alamat tautan ke situs download, sehingga siapapun yang ingin menontonya dapat dengan bebas mengunduh, tanpa peduli apakah sebenarnya film itu layak atau tidak untuk ditonton. Ironisnya, semakin berbau dewasa, obrolan terkait film itu akan semakin ramai dan membuat orang semakin penasaran seperti apa isinya. Ditambah lagi iming-iming “no cut” atau tanpa sesnsor yang malah semakin memancing orang untuk menontonnya. Jika sudah seperti ini, LSF tentu tidak dapat berbuat banyak karena sudah berada diluar jangkauannya. Lantas kiat apa yang dapat diterapkan untuk membentengi diri dari dampak negatif film seperti ini?

Budaya sensor mandiri, bagaimana caranya ?
Masyarakat sebagai lakon utama penikmat hiburan diharapkan dapat membudayakan swasensor atau sensor film secara mandiri. Sensor mandiri berarti dalam prosesnya kita diminta untuk berpartisipasi aktif dalam menyeleksi film mana yang sekiranya layak ditonton dan mana yang tidak. Mewujudkan budaya sensor mandiri sebenarnya cukup mudah karena LSF sendiri sudah memberikan dasar pedoman atau rambu-rambu yang jelas.

Klasifikasi Rating

Pertama adalah klasifikasi rating, LSF telah menggolongkan setiap film yang beredar kedalam beberapa kategori berdasarkan batasan umur seseorang. Hal ini berarti, ada film yang memang diperuntukan untuk kalangan tertentu saja, sehingga hanya dapat disaksikan oleh kategori umur yang bersangkutan. LSF membagi rating menjadi:

Rating
Umur
SU
Semua Umur
A
Anak-anak 3-12 tahun
BO-A
Bimbingan Orang tua Dan Anak-anak
BO
Bimbingan Orang tua untuk anak dibawah 13 tahun
BO-SU
Bimbingan Orang tua Dan Semua Umur
R
13+
Remaja 13-16 tahun
Film khusus diperuntukkan bagi penonton 13 tahun ke atas saja
D
17+

21+
Dewasa
Film yang diperuntukkan bagi penonton 17 tahun ke atas saja
Film yang diperuntukkan bagi penonton 21 tahun ke atas saja

Namun dalam prakteknya, masih banyak yang tidak peduli dengan batasan rating ini. Anak-anak karena ketidak-tahuannya seringkali asyik menonton film ber-rating remaja atau bahkan dewasa. Sedangkan orang dewasa sendiri, mereka kurang aware sehingga membiarkan anak-anak ikut menonton, atau malah dengan sengaja mengajak mereka menonton bersama. Sehingga, perlu adanya pemahaman mendalam terkait sistem rating ini agar kita yang dewasa dapat memberikan bimbingan dan pengertian kepada yang lain, khususnya bagi anak-anak.

Agama sebagai filter
Kedua adalah benteng agama. Semua agama apapun itu, telah dengan jelas mengatur batasan antara hal yang baik dan buruk.  Jika dikaji lebih jauh, didalamnya tercakup pula pada persoalan mata (menjaga pandangan) mana yang boleh dilihat dan mana yang sebaiknya dihindari. Adakalanya, bekal dasar agama yang kuat dapat berperan sebagai filter bagi seseorang agar mampu memilah film-film mana saja yang dinilai sesuai sehingga tak ada lagi kemudhorotan yang bersumber dari apa yang ditontonnya.

Kearifan budaya lokal
Ketiga adalah kearifan budaya lokal. Indonesia dengan beragam suku membuatnya memiliki budaya yang berbeda-beda. Misalnya, orang jawa yang terkenal dengan unggah-ungguh bahasanya yang sopan dan santun akan merasa “kurang sreg” dengan film yang dipenuhi dialog-dialog bernada kasar dan jorok. Atau orang-orang dayak, mereka akan menganggap pemain film bertato sebagai hal yang wajar mengingat dalam kehidupannya, tato adalah seni budaya yang diwariskan oleh leluhur mereka. LSF dalam menjankan tugasnya, terkadang tidak bisa mengakomodir setiap aspek lantaran ada pertimbangan tertentu. Sehingga film yang telah lulus sensor sekalipun mungkin akan kurang sesuai bagi sebagian kalangan. Nah, budaya sensor mandiri sangat berperan disini, kita dapat menyeleksi film dengan mengacu pada akar budaya masing-masing. Film yang sekiranya tidak pantas menurut adat kesopanan misalnya, lebih baik tidak usah ditonton.

Edukasi dan pengawasaan terhadap penggunaan gadget
Keempat terkait pemanfaatan teknologi dan internet, khususnya penggunaan oleh anak-anak. Kita selaku orang yang lebih dewasa tidak seharusnya melarang penggunaan gadget atau internet, karena bagaimanapun, kemajuan teknologi tidak akan dapat dipisahkan dari kehidupan mereka. Hal yang sebaiknya kita lakukan adalah memberikan edukasi dan pengarahan yang baik terkait manfaat dan bahaya internet. Anak-anak dibimbing mengenai konten mana yang pantas ditonton oleh seusianya, karena pada dasarnya jika dilarang, anak-anak justru akan semakin penasaran. Jika edukasi saja dirasa kurang, kita dapat mengawasi anak-anak baik secara langsung, ataupun dengan memanfaatkan bantuan software yang mampu membatasi konten-konten yang tidak sesuai agar tak dapat diakses, serta dapat memantau aktivitas penggunaan perangkat dan internet oleh anak-anak.

Sikap kritis
Kelima adalah sikap kritis. Sikap kritis dalam diri seseorang dapat timbul manakala Ia dapat menggunakan seluruh daya pikirannya untuk menilai dengan bijak tidak sebatas apakah sebuah film layak ditonton atau tidak, namun sampai sejauh mana manfaat yang dapat diperoleh dibandingkan dengan efek negatif yang bisa ditimbulkannya. Seseorang tergolong penonton kritis jelas memiliki kesadaran diri dan budaya malu yang tinggi. Ia paham benar suatu film yang dikatakan baik. Jika ingin menonton film bertema horor, jelas ia tidak akan mau menonton horor berbalut esek-esek meskipun para pemainnya rupawan sekalipun. Malu kiranya jika harus menyaksikan adegan tak senonoh yang sering terselip pada film-film tersebut.

Sineas film juga ikut sensor mandiri
Keenam, sensor mandiri tidak terbatas pada penonton saja, tetapi juga bagi para sineas perfilman yang dituntut untuk memiliki rasa empati dan tanggung jawab atas apa yang dibuatnya. Film memang termasuk seni dan seni sendiri idelanya dilahirkan dari sebuah proses kreatif tanpa adanya batasan. Tetapi, tidak serta merta segala macam hal seperti seksualitas atau pornografi dapat dimasukan didalamnya. Film dibuat bukan untuk dinikmati sendiri melainkan ada masyarakat yang siap menanti untuk dapat menyaksikan dipenghujung alurnya. Sehingga disini ada tanggung jawab moral yang wajib dipertimbangkan. Oleh karenanya, para sineas perfilman sudah semestinya memberi batasan atau sensor mandiri, terkait film yang dibuatnya, siapa target pasarnya, kemudian bagaimana kontennya harus benar-benar dipertimbangkan dengan matang. Bukankah menjadi sebuah kebanggaan jika film yang diproduksi dapat menginspirasi ketimbang menimbulkan pro kontra dikalangan masyarakat.

Sensor bukan untuk membatasi namun untuk perlindungan diri
Budaya sensor mandiri ini penting karena kita tidak bisa lagi bertumpu dan mengandalkan LSF semata, sedangkan zaman berubah begitu cepat. Kemudahan akses teknologi dan internet membuat peran LSF dalam menyensor dan memberikan tontonan yang sesuai bagi masyrakat menjadi terbatas. Oleh karenanya, dibutuhkan peran semua pihak, baik LSF, Masyarakat sebagai penonton, serta para kreator film untuk sama-sama terlibat aktif dalam melakukan sensor mandiri. Sehingga, masing-masing tahu bahwa ada batasan-batasan yang tidak boleh dilewati entah itu dalam proses mencipta atau menikmati hasilnya. Sensor bukan semata-mata membatasi, namun lebih sebagai bentuk perlindungan pada pada diri sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar