Apa itu ruang terbuka ?

Ruang terbuka tak ubahnya seperti oase di padang gurun yang senantiasa memberi penghidupan bagi bermacam spesies makhluk hidup disekitarnya. Begitu pula dengan ruang terbuka publik yang memberikan pengaruh besar bagi kualitas hidup manusia, khususnya bagi mereka yang tinggal kota-kota besar di Indonesia. Sejalan dengan perkembangan zaman dan dibarengi dengan semakin pesatnya pembangunan kota yang gencar digalakan membuat keberadaan ruang terbuka publik kini fungsinya tak sebatas pemanis/estetika saja. Lebih lanjut, keberadaan ruang itu juga mampu mengambil peran penting terkait aspek ekologis, sosial budaya, bahkan apabila dikelola dan dikembangkan dapat mendatangkan manfaat ekonomi.

Ruang terbuka publik dalam kota dapat dibedakan menjadi beberapa kelompok berdasarkan mayoritas elemen penutupnya, seperti ruang terbuka hijau (RTH) yang didominasi oleh vegetasi, baik yang tumbuh alami maupun sengaja ditanam, dan ruang terbuka non hijau yang umumnya berupa lahan perkerasan atau ruang terbuka biru (RTB) jika berupa badan air seperti danau atau sungai yang mengalir diatasnya. Meskipun berbeda, kedua jenis ruang terbuka ini memiliki manfaat yang sama besarnya. Ironinya, baik RTH maupun RTB acap kali harus mengalah apabila dihadapkan pada prioritas pembangunan kota yang lebih mengutamakan aspek ekonomi diatas segalanya. Hasilnya tentu dapat dilihat pada tampilan kota masa kini cenderung didominasi gedung-gedung perkantoran, pertokoan, apartemen, dan pabrik industri yang jumlahnya terus bertambah setiap tahunnya. Namun coba lihat sekarang, berapa ruang terbuka publik yang tersedia ?, alih-alih diprioritaskan, ruang terbuka itu tak ubahnya seperti lahan sisa. Lebih parahnya lagi, beberapa pembangunan malah menggunakan lahan dari RTH dan RTB yang ada sehingga semakin mengurang luasannya.

Praktek pengalihgunaan lahan peruntukan ruang terbuka menjadi terbangun sebenarnya sudah sering terdengar seperti yang terjadi di Kota Malang. Praktek tukar guling (ruislag) ini mengakibatkan sebagian tanah milik negara yang dikhususkan untuk daerah resapan dan hutan kota, kini berganti menjadi lahan terbangun berupa kompleks perumahan mewah, mal, hotel dan pertokoan1. Kondisi yang telah berlangsung sejak tahun 1991 ini tak pelak membuat RTH publik kota hanya tersisa 4% saja dari luasnya. Selain di Kota Malang, alih guna lahan pun sering menjadi isu hangat yang kerap menimbulkan perdebatan di lini masa media ibukota, seperti yang terjadi pada kasus Taman Ria di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Lahan milik permerintah yang sedianya dialokasikan sebagai RTH ini pun terancam akan diubah menjadi area komersil oleh perusahaan pengembang properti2. Jika sudah begini, alih-alih dapat menambah luas ruang terbuka publik yang ada, untuk mengurangi laju pengalihgunaan lahan saja pemerintah harus mati-matian mempertahankannya.

Idealnya, agar keseimbangan ekosistem suatu kota dapat terjamin, luas RTH minimal tersedia adalah 30% dari keseluruhan luas wilayahnya. Hal ini dapat dicapai dengan menggabungkan 20% RTH publik yang keberadaannya dapat dimanfaatkan oleh siapa saja dan 10% sisanya berupa RTH privat yang hanya bisa diakses oleh kalangan tertentu karena kepemilikan dan pengelolaannya dipegang oleh suatu institusi/swasta. Maka, demi menjamin terwujudnya RTH ideal suatu kota, peran aktif antara dua pemegang kuasa yaitu masyarakat yang direpresentasikan melalui pemerintah dan pihak swasta selaku pemiik RTH privat, harus dapat terjalin melalui komunikasi erat agar kesepahaman tujuan dapat tercapai nantinya. Pemerintah yang dalam hal ini memiliki wewenang untuk merencanakan, mewujudkan, dan mengelola RTH publik harus melibatkan masyarakat baik langsung maupun tidak langsung dalam setiap prosesnya. Karena kembali pada tujuannya bahwa pemanfaatan RTH publik sejatinya ditujukan untuk mengakomodasi kebutuhan mereka, sehingga keterlibatan masyarakat dapat diwujudkan dalam bentuk pemberian ide, kritik, atau saran tentang bagaimana sebaiknya rupa ruang terbuka seharusnya. Bagi RTH privat, pemerintah berperan sebagai pengendali, terutama dalam penentuan luas minimum RTH yang wajib dialokasikan dalam setiap rencana pengembangan proyek oleh swasta. Dengan begitu, selain terjalinnya partisipasi diantara ketiga kelompok kepentingan, ketersedian RTH Ideal pun diharapkan dapat tercapai tanpa mengorbankan beragam aspek yang ada.

Pun demikian, ditengah keterbatasan lahan pengembangan yang hampir terjadi disetiap kota, orientasi pengadaan ruang terbuka publik sudah sewajarnya tidak berpaku pada RTH saja, namun dapat dimaksimalkan dengan pemanfaatan RTB yang memiliki potensi sama besarnya. Ruang terbuka biru yang ada umumnya berupa badan air dan sering dijumpai dalam bentuk aliran sungai, genangan danau, atau waduk penampungan dalam kota. Namun, keberadaan banyak RTB tersebut mengalami nasib tak ubahnya RTH kota. Selain kurang diperhatikan, RTB sering digunakan sebagai tempat pembuangan limbah gratis oleh rumah tangga maupun pelaku industri yang beroprasi di sekitarnya. Akibatnya, RTB pun menjadi tercemar dan menimbulkan bau busuk seperti yang terjadi pada aliran sungai di Cengkareng, Jakarta Barat, beberapa pabrik disana secara sengaja membuang limbahnya tanpa melalui pengolahan terlebih dulu3. Keadaan RTB yang tercemar ini sering menjadi momok menakutkan, terutama saat musim penghujan tiba, selain memicu banjir, air luapannya pun menjadi sumber penyakit berbahaya bagi manusia.

Mengatasi masalah RTB, pemerintah sudah seharusnya mengevaluasi rencana tata ruang wilayahnya (RTWR). Jika selama ini pembangunan kota cenderung membelakangi badan air, maka sekarang, pembangunan sedapat mungkin harus mengadaptasi konsep waterfront city. Melalui konsep ini, keberadaan RTB tidak hanya difungsikan sebagai elemen pelengkap, namun juga menjadi daya tarik utama bagi estetika kota. Pemahaman akan pentingnya konsep waterfront city ini pun harus segera disebarluaskan pada masyarakat agar pola pikir "sungai sebagai tempat pembuangan" dapat berganti menjadi elemen utama yang keberadaanya memberikan banyak manfaat bagi mereka. Beberapa kota yang telah mengadopsi konsep waterfront city seperti di kawasan Pantai Losari, Makassar4 sudah sepatutnya dapat dijadikan contoh bagi kota lainnya. Sehingga diharapkan keberadaan RTB dan RTH akan semakin optimal dengan tercapainya beberapa fungsi utama sebagai ruang terbuka publik kota. Selain memberi akses ruang bagi masyarakat untuk bersosialisasi, RTH dan RTB juga mampu menjadi habitat bagi kehidupan flora dan fauna di sekitarnya, serta mengambil peranan dalam mengameliorasi iklim dan menguatkan estetika kota.

Kiat Mewujudkan Ruang Terbuka Publik yang Ideal?

Mewujudkan ruang terbuka publik yang ideal ditengah semakin maraknya pembangunan kota berorientasi ekonomi memang bukan perkara mudah. Namun demikian, kesadaran pemerintah, swasta, dan masyarakat yang turut meningkat akan pentingnya keberadaan ruang terbuka sejatinya telah memberikan secercah harapan baru agar dapat mewujudkan kota yang lebih layak huni kedepannya. Upaya-upaya perlindungan RTH dan RTB pun semakin digencarkan, bahkan di beberapa kota, pengembalin fungsi lahan terbangun menjadi RTH  pun sedang digalakan seperti pada Kampung Pulo, Jakarta. Lahan milik pemerintah yang telah lama dipakai warga sebagai tempat bermukim kini digusur dan siap untuk direvitalisasi kembali menjadi daerah resapan air dan taman kota5. Selain itu, partisipasi aktif masyarakat sebagai pengawas, seperti di Kota Pasuruan dalam menjaga eksitensi ruang terbuka pun menjadi masukan positif bagi pemerintah (Balai Lingkungan Hidup), terutama guna menanggulangi berbagai permasalahan terkait pencemaran limbah6

Partisipasi pun akan semakin dirasa manakala masyarakat sudah berani mengintrospeksi diri dengan membudayakan rasa malu ketika melakukan perbuatan merusak lingkungan seperti membuang sampah di sembarang tempat, seperti pada masyarakat di Kota Makassar7. Mengimbangi peran pemerintah dan masyarakat, pelaku swasta yang didominasi oleh perusahaan pengembang properti pun turut beramai-ramai menyediakan ruang terbuka publik dengan embel-embel “green city”  pada produk yang ditawarkannya agar semakin menjual.  Secara tidak langsung maraknya brandinggreen city” tersebut secara otomatis akan menambah proporsi ketersediaan ruang terbuka kota secara keseluruhan. Sehingga, bukan tidak mungkin, luasan 30% sebagai kriteria minimal ruang terbuka ideal pun dapat terpenuhi nantinya.

Semakin menguatkan momentumnya, melalui peringatan hari habitat dunia yang jatuh di minggu pertama bulan oktober setiap tahunnya, kita sebagai bagian dari warga dunia sudah seharusnya turut serta bahu-membahu dalam menciptakan suatu habitat yang layak huni. Hal kecil yang dapat dilakukan minimal dengan selalu menjaga ruang terbuka yang dipunya agar dapat berfungsi dan memberi manfaat sebagaimana mestinya, bukankah orang bijak berkata bahwa “perubahan besar selalu diawali dari hal-hal kecil” dan itu memang benar adanya.
Salam . . .

POST SCRIPT (PS) :
- Tulisan ini disertakan pada Kompasiana Blog Competition dalam rangka memperingati Hari Habitat Dunia 2015, (Namun sayang sekali belum beruntung, gak apa-apa ! semangat menulis)
- Tulisan ini hasil pemikiran pribadi, beragam contoh ilustrasi pendukung ditambahkan demi memperkuat argumen yang dikemukakan, adapun sumber acuan yang digunakan :
1, 2, 3, 4, 5, 6, 7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar